Oleh: Yusriadi
Kamis, sore, minggu lalu. Aku sedang di kantor, menghadap computer, menyelesaikan penulisan Tajuk Borneo Tribune untuk edisi Jumat.
Aku melihat monitor komputerku bergerak. Ada teleponku berbunyi. Ada panggilan. Dedy Ari Asfar,MA temanku, peneliti yang bekerja di Balai Bahasa Pontianak , Kalimantan Barat. Dedy juga teman satu almamater di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).
Aku menyambutnya.
“Bang, selamat!”
Aku mendengar suara Dedy. Seperti biasa, tegas. Tekanannya kuat, sekuat karakter orangnya.
Aku bingung.
“Selamat apanya?”
Aku tidak mengerti apa yang diselamati Dedy. Rasanya, tidak ada prestasi yang kucapai dalam pekan-pekan ini.
Oh, mungkin Dedy mengucapkan selamat karena teman kami, Muhlis Suhaeri menjadi finalis Mochtar Lubis Award untuk liputan investagasinya. Dalam berita Borneo Tribune kemarin memang disebutkan koran tempat aku bekerja itu meraih prestasi itu. Tapi, tidak tepat amat, sebab yang dapat penghargaan bukannya Koran Tribune, tetapi, Muhlis secara pribadi. Hanya kebetulan saja dia bekerja di Tribune, lalu Koran ini nebeng untungnya.
“Tribune meraih peringkat pertama media massa terbaik untuk penggunaan bahasa Indonesia ,” sahut Dedy.
“Benarlah?”
“Benar,”.
“Terima kasih,”
Aku mempercayainya. Tetapi aku tidak percaya kalau Tribune mampu meraih predikat itu untuk Kalbar. Masalahnya, ada Pontianak Post koran utama group Jawa Pos. Tahun lalu, koran ini meraih predikat pertama. Tribune tidak ikut karena pada masa itu, redaksi tidak sempat mengirim tulisan kepada Balai Bahasa, lembaga pemerintah yang menilai penggunaan bahasa Indonesia di media massa . Maklum saat itu kami sedang memulai, jadi banyak hal yang memerlukan perhatian. Atau mungkin saja kami belum biasa dengan irama kerja.
Tetapi, tahun ini kami mengirim koran ke Balai Bahasa Pontianak untuk mengikuti lomba bahasa Indonesia media massa .
Aku merasa takjub karena Pontianak Pos adalah koran nasional. Head line dan tajuk yang dimuat di koran ini –dan itu yang dinilai para juri, adalah made ini Jawa Pos, yang ditarik oleh redaksi di sini. Siapapun tahu, Jawa Pos adalah koran besar. Redaktur di sana adalah para professional yang pasti kemampuannya bak langit dengan bumi dibandingkan kami di Tribune. Tribune kecil. Yang membuat besar Tribune, mungkin karena kami merasa besar..
Jadi aneh sekali kalau kami bisa mengalahkan Koran sebesar Jawa Pos. Kami merasa tersanjung. Pasti.
“Yang menilainya dosen senior dari FKIP Untan,” Dedy memberitahuku lagi. Dia menekankan pada senior untuk menunjukkan bahwa para juri tidak usah diragukan kredibelitasnya. Para juri menilai dengan objektif.
Aku tidak meragukan lagi.
“Dosen senior FKIP, Untan,” bisikku. Siapa yang tak kenal reputasi FKIP Untan. Walaupun aku tidak mengenal dosen-dosen di sana , namun, reputasi ini pasti didukung oleh dosen-dosen itu. Aku cukup mengenal Dekan FKIP Untan, Dr. Aswandi. Beberapa pejabat di sana juga aku kenal. Dahulu ada AR Muzammil yang kemudian menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalbar, ada Albert Rufinus, dosen sekaligus peneliti. Banyak lagi lainnya.
Beberapa hari kemudian aku kontak dengan Kepala Balai Bahasa Pontianak, Firman Susilo, M.Pd. Aku menyatakan terima kasih karena apresiasi Balai Bahasa terhadap Tribune. Dan, dalam komunikasi itu dia menyebutkan tiga nama dosen senior di FKIP yang menjadi penilai.
Suara Dedy terdengar lagi.
“Besok penghargaannya ya. Sudah dapat undangan ‘ kan ??,”
Aku berpaling pada H. Nur Iskandar, SP yang duduk di depan computer tidak jauh dari tempat dudukku.
“Nur, sudah ada undangannya?” aku bertanya. Aku memang biasa memanggilnya Nur atau Nur Is. Tidak bapak, atau abang. Maklum, umurku satu tahun lebih tua dari dia. Lagi, panggilan begitu bagiku menunjukkan lebih akrab dan natural.
“Sudah,” Nur Is, pimpinan kami di Borneo Tribune menjawab.
Aku menyampaikannya ke Dedy.
“Ya, sudah Ded,”
“Ok. Jumpa besok,”
***
Meraih penghargaan sebagai media berbahasa Indonesia terbaik –dibandingkan media lain. Jelas membanggakan kami. Banyak pihak yang memberikan apresiasi. Gubernur Cornelis, Wakil Gubernur Christiandy Sanjaya, dan Sekda Kalbar Syakirman mengucapkan selamat. Mereka pasang iklan. Pemerintah Kota Singkawang juga mengucapkan selamat.
Kami juga menerima ucapan selamat dari tokoh Tionghoa, FX Asali. Asali mengirim ucapan lewat email pada hari Minggu.
“Kita harus pasang logo prestasi itu. Ini prestasi yang cukup prestisius,” usulan itu meluncur saja di ruang redaksi hari itu, setelah aku menerima telefon Dedy.
Semua setuju.
Soalnya kemudian, berapa lama. Satu hari, satu minggu, satu bulan, atau berapa lama.
Nur Is kemudian memutuskan logo itu dipasang selama satu bulan. Ada yang memberikan pertimbangan lain.
“Kita jadikan ini sebagai social control,” tambahnya.
Maksudnya, dengan memasang logo ini biar awak redaksi merasa terus terkontrol untuk menjaga kualitas bahasa yang digunakan. Agar jangan salah-salah. Jadi, selain ada kesan bangga, juga ada misi lain dari pencantuman logo itu.
Bang Fakun, kepala bagian pracetak diminta membuat logo itu..
Dan, seperti yang terlihat pada edisi terbitan 15 Juli, logo itu muncul. Muncul dengan warna merah yang cukup mencolok, di pojok kiri atas Tribune, tepat menutup huruf e. Aku tidak bertanya mengapa Bang Fakun meletakkan logo itu di posisi itu. Mengapa menutup huruf e. Mengapa tidak di atas tulisan Borneo Tribune, mengapa tidak menutup huruf B.
***
Memang menjaga bahasa agar bahasa tetap terjaga tidak mudah.. Redaksi menghadapi beberapa masalah. Pertama, kemampuan berbahasa wartawan dan redaktur tidak terlalu istimewa. Ilmu tentang bahasa Indonesia masih kurang. Memang pernah belajar –mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tetapi, pelajaran bahasa Indonesia lewat begitu saja. Tidak dianggap penting. Sewaktu kuliah yang dipikirkan hanyalah bagaimana bisa lulus ujian matakuliah Bahasa Indonesia. Tidak ada awak redaksi yang secara khusus belajar bahasa Indonesia sebagai disiplin. Nur Is, dan Hairul Mikrad, lulusan Fakultas Pertanian Untan Pontianak. Tanto Yakobus, lulusan Fisipol Untan Pontianak, AA Mering lulusan Fakultas Hukum Untan Pontianak, Muhlis, lulusan Publisistik, Universitas Moestafa Beragama, Jakarta, dan aku, lulusan Linguistik, Universiti Kebangsaan Malaysia. Kemampuan bahasa Indonesiaku malah hampir tidak diakui: Dalam rapat Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru STAIN Pontianak –kebetulan aku juga mengajar di sana, Pejabat STAIN menyerahkan tugas membuat soal tes bahasa Indonesia kepada Mariatul Kibtiyah – lulusan Bahasa Indonesia FKIP Untan, S-1. Menurut Pejabat itu, kemampuan Kibtiyah itu, di atas kemampuan aku. Malah pakku mengajar bahasa Indonesia juga pernah dipindahkan ke lulusan FKIP itu. Jadi, kami kemampuan berbahasa Indonesia awak di Tribune boleh dipukulrata sangat rendah.
Satu-satu yang kami lakukan untuk meningkatkan kemampuan bahasa adalah melalui pelatihan. Sewaktu merekrut wartawan Tribune gelombang pertama kami mengadakan pelatihan; selain pelatihan liputan juga pelatihan menulis. Include di situ menggunakan bahasa Indonesia.Ada kemajuan dari latihan itu. Paling tidak, wartawan menjadi ingat kembali apa yang sudah diketahui, dan perlahan tapi pasti mulai menerapkannya.
Pelatihan ini juga membuat redaktur belajar kembali biar nampak lebih menguasai materi dibandingkan peserta. Pelatihan ini membuat redaktur mulai agak sensitive terhadap penggunaan bahasa Indonesia .
Tetapi, masalahnya belum selesai. Bekerja di media adalah bekerja yang berlomba dengan waktu. Kami berpacu. Mengejar deadline. Pada awalnya deadline pukul 21.00 –sebenarnya formalnya 19.00. Lalu, deadlinenya berubah pukul 15.00, kadang molor sampai pukul 16.00.
Situasi ini membuat tegang. Ketegangan ini membuat kerja tidak maksimal. Perhatian kadang kala lebih terfokus pada isi, ketimbang bahasa. Huruf besar kecil, titik atau koma, pilihan kata, kadang-kadang tidak diperhatikan dengan lebih cermat. Itu di jajaran redaksi.
Di jajaran pra cetak, isu bahasa juga muncul. Bahkan kadang-kadang justru masalah terjadi pada bagian pracetak. Cara mereka menempatkan kata kadang kala hanya terfokus pada ruang dan artistik. Kalau ruang tidak memungkinkan pra cetak menempatkan judul pada satu baris, pra cetak harus menempatkan judul di baris berikutnya (baris kedua). Isunya adalah persambungan antara baris pertama dan kedua. Jika mengikut saja pada kemampuan computer, pemenggalan akan ikut pada pembagian jumlah karakter, tetapi, kalau pracettak mengerti bahasa Indonesia , penggalannya akan mengikuti kaedah bahasa Indonesia . Untunglah, dari 5 pracetak yang ada, 4 di antaranya – Bang Fakun, Bang Iwan, Sam Abu Bakar, Mbak Tika Ramadhani, dan Fahmi Ichwan pernah belajar pada Goergia Scott lay outer The New York Time. Mereka juga sudah pernah belajar dari Jhon Mohn, konsultan artistic Jawa Pos. asal Kanada. Jadi, kesadaran bahasa juga muncul seiring kesadaran tentang tata letak.
***
Tetapi, di balik hal teknis itu, secara teoritis, penggunaan bahasa Indonesia di media massa juga tidak mudah. Yang aku tahu, di kalangan para jurnalis ada aliran yang mengatakan ada bahasa Jurnalistik, bahasa yang berbeda dibandingkan bahasa lainnya. Bedanya, bahasa jurnalistik itu singkat, jelas dan padat.
Teori ini kerap kali digunakan oleh pekerja pers untuk membela diri ketika bahasa yang mereka gunakan dikritik. Termasuk oleh teman-teman di jajaran redaksi, dahulu. Ya, maklum, siapa sih yang mau disalahkan. Apalagi wartawan. Aku belum pernah lihat wartawan yang tidak ego.
Menurutku, teori ini justru menghambat penggunaan bahasa Indonesia di media. Teori ini juga membuat awak media tidak merasa cukup perlu belajar ‘lagi’ bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Dan ironinya, ada di antara ahli bahasa Indonesia yang menyetujui teori ini. Padahal mereka ingin ada peningkatan kemampuan berbahasa Indonesia .
Aku menilai begitu karena sejauh yang kulihat penjelasan teori bahasa jurnalistik sama saja dengan penjelasan tentang menulis yang baik dalam pelajaran bahasa Indonesia . Lihatlah teori-teori konstruksi kalimat, dll. Setiap pelajaran menulis dan penggunaan bahasa Indonesia pasti yang ditekankan adalah menggunakan bahasa yang jelas, singkat dan padat. Tidak boleh menggunakan bahasa yang ambigu, dll. Sangat umum.
Lagian, contoh bahasa media yang selalu ditampilkan adalah contoh-contoh bahasa yang jelas salah, yang orang media sendiri tertawa dengan kesalahan itu. Contoh yang diberikan dalam beberapa teori bahasa media adalah contoh yang tidak benar. Orang media yang mengerti bahasa lugas, tegas dan jelas, menghindari penggunaan bahasa media yang salah itu.
Aku pernah menyampaikan hal itu dengan narasumber nasional. Termasuk suatu ketika ketika ada nara sumber dalam pelatihan untuk redaktur yang diselenggarakan PWI Pusat.
“Itu pendapat saudara. Hak saudara untuk berpendapat begitu,” kata narasumber itu.
Aku hanya bisa mengangguk. Hak pribadi!
Ya, hak pribadi seperti itulah yang membuat kami, orang media tidak mau belajar. Kalau ada orang mengkritik bahasa yang kami gunakan, kami akan mengatakan:
“Itulah bahasa media. Anda tidak mengerti bahasa media,”
Lalu, kami tetap dengan bahasa kami. Kami mengubah dunia pikir masyarakat pembaca dengan bahasa kami. Terciptalah dunia nyata yang wujud berdasarkan kata-kata yang kami persembahkan. Tanpa, peduli benar atau salah.
Hingga kami pun tidak sadar pada tugas-tugas kami menjaga bahasa Indonesia .
Jumat, 18 Juli 2008
Ketika Tribune Mendapat Penghargaan Media Terbaik
Diposting oleh Yusriadi di 23.16
Label: Bahasa Media, Tribune
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Bravo buat rekan-rekan redaksi Tribune. Saya juga tertarik pasang iklan di tribune. Kalo ada harga iklan paketnya tlg di email ya...
lsj.sub@gmail.com
Posting Komentar