Senin, 21 Juli 2008

Kota Pontianak Pada Abad ke-19

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Matan 7 Juli 1895. Di kota kecil itu sebuah syair ditulis. Syair Pangeran Syarif (SPS). Syair ini menggambarkan situasi kota Pontianak pada masa Belanda.

Penduduk Pontianak

Gambaran tentang penduduk kota Pontianak dapat dilihat pada Bait 193 hingga 213. (1). Di kalangan orang Eropah yang menjadi penduduk Pontianak: (a.) Tentera dan pegawai sivil terdiri dari orang Belanda. (b.) Swasta terdiri dari orang-orang Belanda, Inggeris dan
Persman (Orang Belanda bahagian utara). Orang-orang Eropah pada waktu itu rapat hubungannya dengan pegawai-pegawai tentera dan sivil Belanda, juga bersahabat dengan sultan.
(2). Orang swasta Eropah ini mendirikan berbagai perusahaan perdagangan dan perniagaan, perusahaan membuat periuk dan papan. (3). Ada pula orang Eropah swasta yang makan gaji; dengan belayar kapal api, menjadi juru jentera atau pegawai dan nakhoda kapal. (4). Di kalangan orang Bugis pula, termasuk yang datang dari Wajo, dan orang yang datang dari Sumbawa; mereka tinggal di pesisir pantai, dan merekalah yang menguasai kebun ladang. (5). Orang Bugis tinggal berkelompok sesama mereka, membuat kampung dengan susunan perumahan yang berlapis-lapis: Bilangan mereka sangat banyak. Disebutkan mereka memenuhi jajahan laut, dan kalau terjadi perperangan, orang Bugis inilah yang lebih dulu berperang.
Di rawa-rawa yang asalnya tumbuh nipah, bakau, apiapi dan perepak, yang membentang dari Mempawah di barat laut hingga ke Padang Tikar di tenggara, semuanya sudah menjadi ladang kelapa orang Bugis.
Hasil kelapa dari orang Bugis ini disebutkan sangat banyak, dan ini juga jadi hasil pungutan cukai untuk sultan.
Sedangkan suku bangsa yang terdapat di Pontianak ketika itu, seperti tergambar dalam SPS antara lain: (a.) Jawa, yakni dari Betawi, Surabaya dan Plered. (b). Bali. (c). Madura, yakni dari Madura, Semenap dan Bawean
Dalam anotasi ini, istilah Melayu merujuk kepada nama bangsa yang lebih skope luas, yakni: Melayu dari Kalimantan sendiri seperti dari Banjarmasin, Banjar Negara, Banjar Tanggi, Martapura, Brunei, Sarawak, Sambas, Singkawang. Melayu yang datang dari Kepulauan Riau, yakni dari Tembelan, Jemaja, Bunguran, Siantan, Serasan, Kamboja, Daik, Lingga, Munto dan Belitung.
Melayu dari Sumatera , yakni Batu Bara, Siak, Bangkahulu, Padang, Deli, Kampar, Kuantan, Jambi, Palembang.
Melayu dari Malaya, yakni Pulau Pinang, Melaka, Johor, Singapura, Pahang, Terengganu, Petani, Kelantan. Melayu dari Indochina yaitu dari Kemboja. Melayu dari Sulawesi, yaitu dari Bugis, Makasar, Buton. Dari Nusantara, yakni Nusa Tenggara, Sumbawa
Orang asing yang ada di Pontianak ketika itu adalah dari Jazirah Arabia (Arab Hadralmaut), dari Afrika yakni Habsi dan Arab Walkiti (Mesir), dari India yakni Keling dan Surati.
Terdapat juga orang dari Eropah yakni dari Belanda dan Inggeris.

Taraf Hidup Penduduk Pontianak

Gambaran tentang taraf hidup orang Pontianak bisa dilihat pada Bait 214 hingga 229. Dikemukakan Arena Wati dari bait 214 hingga 222 dijelaskan interaksi antara penjual dan pembeli dalam perniagaan pakaian dan makanan yang terdapat di daratan dan kedua belah tebing sungai Pontianak. Para pedagang ini terdiri dari Islam dan kafir, terdiri dari orang yang setempat dan musafir. Di samping itu banyak yang berdagang tetapi lebih banyak lagi yang hidup sebagai kuli. Disebutkan juga banyak yang bekerja sendiri membuat berbagai jenis barang keperluan hidup sehari-hari untuk diperdagangkan.
Penjual barang menjajakan jualannya dari rumah ke rumah, termasuklah perhiasan emas perak dan batu-batu permata. Dalam hal ini penyair menyimpulkan tentang kepintaran penjual barang:

Ada Melayu Keling dan Cina
Terkadang jantan terkadang betina
Kalau tak mahir memandang warna
Adalah juga orang yang terkena. (Bait 222)

Dari bait 223 hingga 229 penulis SPS memberikan gambaran tentang keadaan perumahan penduduk. Rumah penduduk dibangun kokoh dan indah. Atap rumah terdiri dari atap sirap – kayu belian, dan seng. Jarang rumah penduduk di kota Pontianak yang beratap daun nipah. Jendela-jendela rumah sudah mula dibuat dari besi.
Model rumah juga sudah didesain dengan berbagai-bagai bentuk. Bahkan katanya sudah banyak meninggalkan bentuk tradisi Melayu.
Perabot rumah lengkap dan halaman rumah dihiasi pintu gerbang bentuk mahkota. Kursinya bertilam dengan dilapik renda bersulam.
Yang lebih kaya lagi, dalam kamarnya dilengkapi katil dan gets, dialas puadai yang menyenangkan mata.
Penulis SPS menangkap ada persiangan dalam melengkapi dan memperindah rumah masing-masing.
Menariknya, menurut penulis, yang mula-mula membangun rumah model baru ini ialah orang Melayu, lalu diikuti orang Cina. Pada akhirnya orang Cina lebih hebat lagi rumahnya kerana terus meniru bentuk Barat.
Dari bait 230 hingga 234 penyair menggambarkan tipologi rumah orang Cina. Katanya rumah sistem bangsal masyarakat Cina menurut keperluan hidup sistem kongsi dan taraf migran sudah dipandang hina oleh orang Cina generasi baru Pontianak; oleh sebab itu ramailah taukeh yang membangun rumah mereka dengan bentuk baru yang sesuai untuk mereka hidup satu keluarga sahaja.
Taukeh-taukeh muda membina rumah mereka menurut cara Belanda dengan dilengkapi perabot ala Barat.

Segala taukeh yang muda-muda
Rumah dibikin cara Olanda
Alat kelengkapan semuanya ada
Disuruh pandang dengan ayahnda
(Bait 231)


Persaingan dalam bentuk rumah modern ini juga telah menukar sikap sebagian tauke kaya terhadap tamu yang datang ke rumahnya: (i) Menurut tradisi Cina, tamu diterima dan hanya melihat sekitar ruang tamu. (ii). Sikap baru dari Barat telah mempengaruhi mereka, iaitu tamu diperlihatkan seluruh perabot dalam semua ruangan rumah dari pintu depan hingga ke pintu dapur. (iii) Orang kaya itu cenderung senang dipuji. Disebutkan tamu yang memuji rumah dan perabotnya, dijamu sebaik-baiknya dan diajak selalu datang berkunjung.
Perumahan orang Belanda lebih hebat lagi dibandingkan perumahan orang Melayu dan Cina.
Dari bait 235 hingga 237 diperlihatkan pula tentang model pakaian yang lagi ’trendy’ pada masa itu. Penyair melihatnya sebagai fenomena bertambahnya adat
adat baru ke dalam penghidupan:
a. Penyair hiba hati menyaksikan semakin hebatnya saingan terhadap pakaian tradisi, kerana kain baju sudah berubah, yang dikatakannya potongannya seperti gamis dan jubah.
b. Dalam hal ini orang tidak lagi memperdulikan taraf kasta dalam masyarakat, masing-masing sudah memakai jam saku tergantung di dada baju; dan kalau dilihat dari jauh, orang tak mengenalnya lagi entah Si Lamat atau entah Si Untung.
Dalam suasana demikian itu di Pontianak, kekuasaan dan kemampuan membolehkan apa saja yang diingini, bisa dinikmati.

Tidaklah dapat dipanjangkan peri
Dalam ayahnda duduk berdiri
Melihat adat aturan negeri
Limpah dan makmur sehari-hari
(Bait 238).

Kata Akhir

Dari gambaran singkat tentang keadaan kota Pontianak dan kehidupan masyarakat pada abad ke – 19, diperoleh gambaran tentang suasana yang metropolis. Pontianak ketika itu jelas menggambarkan sebuah kota yang maju, kota yang sangat terbuka. Kehidupan juga cukup rancak dengan dinamika sebagai sebuah kota metropolitan. Pontianak menjadi tempat berkumpul orang yang datang dari berbagai daerah.
Kekaguman seorang sultan Matan bisa dipahami sebagai orang yang baru datang di sebuah tempat yang baru. Dia tentu sangat peka terhadap apa-apa yang dia lihat dan apa yang dia alami.
Tentu juga harus dimaklumi bahwa gambaran yang diberikan belum tentu tepat dan merupakan representasi untuk mewakili wajah kota Pontianak di akhir abad ke-19 (tahun 1894). Maklum tulisan ini merupakan karya sastra. Bentuk karya yang kadang kala diragukan nilai faktanya.
Lukisan wajah Pontianak melalui syair masih harus dibandingkan dengan lukisan lain yang sezaman. Sebut misalnya deskripsi yang digambarkan oleh A. Niewenhuis, dokter Belanda yang mencatat perjalanannya saat melakukan ekspedisi dari Pontianak ke Samarinda yang juga dilakukan di tahun 1894. Dalam bukunya yang diterbitkan Gramedia tahun 1994 – memperingati 100 tahun ekpedisi itu gambar Pontianak juga dibuat seimbas lalu.


0 komentar: