Yusriadi
Redaktur Borneo Metro
Siang itu, beberapa hari lalu, saya tidur di atas kursi di depan pintu. Saya memilih tidur di situ karena itulah tempat yang paling enak untuk rehat dalam cuaca “panas bedengkang” seperti sekarang. Di depan pintu banyak angin, jadi lebih sejuk.
Saya terjaga dari tidur karena tiba-tiba seseorang berdiri di depan pintu. Suara dia mengucapkan salam membangunkan saya. Dalam keadaan “bangun tekejot”, saya duduk. Pandangan saya masih agak nanar. Saya melihat dia mengenakan baju putih, celana hitam, topi biru dan membawa tas. Saya kira, dia seorang sales. Sales biasa berpakaian seperti itu.
Tapi, sebelum saya bertanya dia sudah lebih dahulu memperkenalkan diri.
“Saya petugas statistik”.
Ah, saya ingat, bulan Mei ini memang akan dilakukan sensus penduduk. Spanduknya sudah terpasang di mana-mana.
Bahkan, malam sebelumnya, saya sempat omong-omong dengan seorang keluarga saya yang menjadi petugas sensus di Kubu Raya, bahwa mereka akan melakukan sensus minggu depan. Dia juga bilang ada beberapa tempat, petugas sudah turun melakukan listing.
Saya mempersilakan petugas sensus itu masuk. Namun, dia seperti maju mundur. Enggan. Entahlah mengapa. Mungkin dia enggan membuka sepatu, atau dia terburu-buru. Tapi akhirnya dia masuk juga.
Setelah dia duduk, dia membuka filenya. Lalu dia bertanya tentang jumlah orang yang tinggal di rumah ini, dan juga bertanya jenis kelamin; berapa lelaki dan berapa perempuan.
Saya sempat ragu menjawab pertanyaannya itu. Ragu karena apakah saya harus mengatakan penghuni rumah kami ada 6 orang atau 8 orang. Jika 8 orang, itu berarti termasuk bapak dan emak yang beberapa minggu ini ada di rumah.
Setelah dia mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang yang tinggal menetap sudah lebih dari 6 bulan, barulah saya jelas. Untuk kategori ini, di rumah saya ada 6 orang.
Setelah pertanyaan itu, dia kemudian mencatat angka pada stiker.
“Izin nempel ini ya”.
Saya mempersilakan dia memilih di tempat untuk memasang stiker itu. Tak ada masalah. Dia memilih menempel stiker di samping kanan pintu. Setelah itu, dia pamit.
“Nanti saya datang lagi,” katanya.
Setelah dia pergi saya jadi teringat kasus BPS dahulu. BPS pernah melakukan sensus penduduk tahun 2000. Dalam item pertanyaan itu, ada pertanyaan tentang etnis. Responden ditanya: Suku apa? Jawaban yang diberikan macam-macam – sesuai dengan pengakuan masing-masing.
Data itu kemudian dipublikasikan tahun 2001. Malangnya, ketika data itu dipublikasikan, kelompok masyarakat tertentu ribut. Data BPS tentang etnik dianggap menghilangkan etnik tertentu. BPS kena hukum adat capak mulut. Majalah Kalimantan Review membuat liputan tentang ini cukup lengkap.
Mengapa tiba-tiba saya ingat kasus ini? Saya ingat karena kemungkinan serupa bisa saja terjadi kali ini. Sepanjang BPS tidak melakukan pembenahan.
Ya, BPS harus melakukan pendataan sebaik mungkin. Petugas-petugas yang mereka rekrut seharusnya adalah orang-orang yang terlatih dan orang yang dapat menerapkan standar pelaksanaan sensus dengan baik.
Sebelum turun lapangan mereka harus mendapatkan bekal pengetahuan yang cukup untuk kepentingan mereka di lapangan.
Mereka, tidak cukup hanya mencekles atau mencatat data dari responden di tiap-tiap rumah, tetapi juga mengerti apa yang mereka tanyakan dan mengerti juga data apa yang diharapkan dari pertanyaan itu.
Saya yakin, pemahaman ini akan membantu BPS memperolehan data standar, data yang dapat diolah dengan pendekatan standar, dan data yang tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Sabtu, 01 Mei 2010
Petugas Statistik
Diposting oleh Yusriadi di 06.47
Label: Pontianak, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar