Yusriadi
Redaktur Borneo Metro
Saya mendapat pengalaman menarik beberapa hari lalu. Hari itu, saya sedang bicara dengan seorang teman yang bekerja di kantor Kementerian Agama. Mulanya kami bicara tentang persiapan menjelang pekan olahraga daerah Kementerian Agama (Porda Depag) Kalbar yang akan digelar Juni mendatang di Singkawang. Kami membicarakan persiapan masing-masing. Maklum, dia termasuk salah satu pemain andalan lembaga ini.
Panjang cerita, banyak kisah, kami cerita soal kegiatan hari Jumat.
“Abang ni, kalau Jumat pasti sibuk,” saya menyampuknya.
“Mane pula’. Biasa jak”.
“Takkan pula’. Jumat ini baca khutbah di mane?”
“Baca khutbah? Ndak pernah saye”.
Nah, ini yang membuat saya terkejut. Dalam bayangan saya, dia pasti memiliki banyak jadwal khutbah. Maklum, level penghulu. Lagi, dilihat dari caranya bicara, saya kira dia memiliki isi yang memadai.
Memang saya mengenalnya sedikit. Dia, seorang guru agama. Pengalamannya mengajar sudah banyak. Belasan tahun dia menjadi guru di madrasah ibtidaiyah.
Beberapa tahun lalu dia mengajukan pindah ke bagian administrasi di kantor Kementerian Agama. Di kantor ini dia menjadi staf kepala kantor urusan agama. Salah satu pekerjaannya menikahkan orang dan menulis surat nikah orang.
Nah, kalau sekelas seorang tukang nikah mengaku tidak bisa baca khutbah, tentu orang tidak akan percaya. Seorang tukang baca nikah boleh dikategorikan orang pilihan. Di kampung, mereka disebut penghulu. Penghulu pasti termasuk tokoh masyarakat. Kalau ada undangan mereka pasti duduk di kepala shaf, dan memimpin pembacaan doa.
“Saya pernah dimarahkan pengurus masjid karena saya menolak ketika diminta menjadi khatib”.
Dia menceritakan pengalamannya. Kala itu dia hadir dalam kegiatan silaturahmi dengan pengurus masjid. Dia mewakili kepala kantor menyampaikan beberapa patah kata; kata sambutan.
Usai kegiatan, pengurus masjid mendatanginya dan minta dia menjadi khatib di masjid itu.
“Saya tolak. Saya katakan, saya tidak bisa baca khutbah”.
Pengurus masjid tentu saja tidak percaya. Sebaliknya, pengurus masjid menyangka dia tidak mau ‘menolong’, tidak mau membagi ilmu pengetahuan, dll. Ujung-ujung, dia mendapat ceramah dari pengurus masjid itu, tentang pentingnya berdakwah dan berbagi ilmu.
“Saya diam jak. Apa yang dia katakan itu betol”.
“Lalu mengapa abang tak mau juga?”
Dia mengaku bingung kalau mau menceramahi orang. Bingung mencari tema apa yang harus disampaikan. Menurutnya, kalau mau ceramah temanya harus tepat dan sesuai. “Yang paling penting adalah sesuai dengan perbuatan kita. Sementara saya, masih banyak kekurangannya. Kononnya nak nceramahkan orang”.
“Tapi, kadang khan juga beri nasehat untuk orang yang mau nikah. Itu gimana?”
“Ya, nasehat gitu-gitulah. He.. he..”
Saya ikut tertawa juga. Tertawa karena gayanya waktu itu yang lucu.
Saya kira apa yang dia katakan itu benar adanya. Sangat berat tanggung jawab orang yang menceramahi orang lain. Jadi, biar tidak terlalu berat, memang sebaiknya memulai dan berusaha dari diri sendiri, dan keluarganya. Kalau sudah beres, barulah mengajak orang lain. Bukan sebaliknya, mengajak orang lain dahulu sedangkan diri dan anak istri berantakan.
Tapi… buru-buru saya ingat; kita juga diingatkan untuk saling mengingatkan. Kalau tidak saling mengingatkan, kita sering kali lupa. Justru, sikap saling mengingatkan merupakan bagian penting dari kehidupan bermasyarakat.
Lalu?
Sabtu, 01 Mei 2010
Tak Bisa Khutbah
Diposting oleh Yusriadi di 06.51
Label: Pontianak, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
salam pak yusri, sungguh menarik bercerita tentang khutbah jumaat, tapi sy musykil kok sbb di Malaysia khatib2 disediakan text khutbah jumaat dari pihak pemerintah negeri.
maaf pak, salamm,
Posting Komentar