Di pasar Serian kami melihat-lihat barang yang dijual pedagang di pasar basah. Ada banyak sayur yang aneh-aneh. Mulai jenis sayur impor, hingga sayur kampung. Saya tertarik dengan asam menggo (tetapi penjualnya tidak mau dikatakan mangga). Rasanya gurih, manis. Saya juga tertarik pada sawi Dayak – di Kapuas Hulu dikenal dengan “nsabi”. Ada juga bunga “simpur” yang biasanya untuk campuran kalau masak ikan. Baunya wangi seperti daun kelsum.
Di pasar ini ada juga dijual ambinan yang dianyam dari tali plastik. Uniknya sambil menunggu pembeli, penjualnya menganyam ambinan itu. Kami berhenti di depan seorang perempuan paroh baya yang sedang menganyam ambinan. Dia melayani pertanyaan kami dengan ramah. Katanya, tradisi menganyam itu diperolehnya dari orang tua. Dia orang Bidayuh.
Tetapi meski tertarik, saya tidak bisa membeli jenis-jenis sayur dan barang yang dijual itu. Kami belum pulang. Kami masih akan berjalan jauh ke negeri Brunei.
***
Pukul 16.00 lewat. Bus jurusan Kuching – Miri berhenti di depan counter tiket Tebakakng di Serian. Kami naik. Penumpang cukup ramai. Tetapi rupanya tiket kami ada masalah. Tetapi, tidak lama, beres. Ibrahim cukup sigap dalam soal urus mengurus. Dia selalu dapat diandalkan.
Hampir pukul 17.00 bus bergerak meninggalkan kota Serian. Belum jauh perjalanan kami melewati pemeriksaan polis. Satu per satu identitas penumpang diperiksa. Bahkan digeladah. Tas diperiksa. Karena penumpang ramai, pemeriksaan memakan waktu cukup lama. Aduhai!
Setelah pemeriksaan selesai, kami melanjutkan perjalanan.
Sekitar pukul 20.00 bus berhenti di sebuah kampung sekitar Sri Aman. Ada dua bus sedang parkir. Ada toko, ada tempat makan dan ada WC. Tetapi, WC yang ada .. minta ampun. Bau pesing. Tahi menutupi lobang closed. Tidak disiram. Tidak ada air. Sejorok-joroknya WC rumah makan di Indonesia, WC di tempat ini dua kali lebih jorok. Saya hampir muntah. Teman saya tidak jadi buang air.
“Yus, katamu WC di Malaysia bersih-bersih,” teman saya protes.
“Iya, yang seperti ini ... baru kali ini saya lihat,” kata saya membela diri. Memang begitu.
Memalukan.
Satu jam kemudian bus melanjutkan perjalanan. Kami melewati simpang jalan ke Betong, ibukota Sri Aman. Saya melihat simpang ke arah Spaoh, tempat penelitian S-3 saya tahun 2003 lalu. Saya pernah ke Spaoh lagi pada tahun 2007.
Setelah itu, saya memilih tidur. Meskipun sangat dingin sebab lubang AC yang berada di atas kepala tidak bisa ditutup, namun saya tidur cukup lelap. Saya lihat teman lain juga begitu. Kecuali, Bang Kris (Kristianus Atok) yang terjaga.
“Saya ingin menikmati setiap perjalanan ke tempat yang baru. Rugi kalau tidur,” katanya. Ya, saya maklum dia itu penjelajah.
Jalan di Sarawak yang cukup bagus juga berpengaruh. Tidak ada lubang. Bandingkan kalau naik bus ke Putussibau. Goncangan sangat kuat menyebabkan penumpang tidak bisa tidur nyenyak. Apalagi penumpang yang dapat kursi bagian belakang. Bahkan saya pernah ada pengalaman, kepala terantuk dek bus, atau terbentur sandaran kursi di depan ketika bus menabrak lubang atau ketika bis rem mendadak. Benjol.
Saya sempat terbangun ketika melewati Bintulu. Ada pemeriksaan barang oleh petugas Bea Cukai (Customs). Bah, lagi-lagi razia. Saya bayangkan sungguh repot. Apa yang mereka cari sebenarnya? Tempat ini ‘kan di tengah Sarawak. Mengapa pemeriksaan Bea Cukai tidak cukup di batas negara saja? Memang saya terlalu awam soal Malaysia.
Selasa, 04 Maret 2008
Catatan Perjalanan ke Brunei 2: Tiba di Miri
Diposting oleh Yusriadi di 08.31
Label: Brunei, Perjalanan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar