Oleh: Yusriadi
Tiba-tiba saya jadi teringat buku “Bakar Pecinan!; Konflik Pribumi vs Cina di Kudus Tahun 1918”. Buku ini, karya Masyhuri. Terbitan Pensil 324, Jakarta, tahun 2006.
BUKU ini, sebagaimana judulnya menceritakan bagaimana konflik Kudus terjadi. Konflik itu, terjadi tahun 1918. Peristiwanya: 31 Oktober 1918. Ada penyerbuan terhadap perkampungan Cina di Kudus Kulon yang mengakibatkan terbakarnya hampir seluruh perkampungan Cina di sana.
10 orang tewas, 34 luka dari pihak pribumi, sedangkan dari pihak Cina tidak diketahui karena setelah kerusuhan tersebut mereka mengungsi ke Semarang. Sekurang-kurangnya 34 rumah terbakar. Jumlah kerugian mencapai 500.000 gulden. Jumlah yang pasti sangat besar untuk ukuran nilai uang waktu itu.
Kerusuhan ini terjadi karena orang pribumi marah terhadap orang Cina yang melakukan pawai mengarak Toa Pek Kong pada tanggal 30 Oktober 1918 –atau sehari sebelumnya. Arakan tanggal 30 Oktober itu sebenarnya arakan yang ke-4 dalam rangkaian ‘tolak bala’ wabah influenza. Pawai pertama dilaksanakan tanggal 24, dilanjutkan tanggal 24 dan 28. Pawai ini mengantongi izin pemerintah Belanda.
Selain Toa Pek Kong, dalam arak-arak itu ada juga orang Cina yang berpakaian ala haji dan alas wanita nakal.
Pada saat pawai melewati masjid Kudus, pengurus masjid yang sedang mendorong gerobak –kebetulan ada kerja bakti mengangkut batu dari kali, menyorongkan gerobaknya ke arah pedati yang digunakan sebagai arakan. Lalu terjadi tabrakan. Selanjutnya pertengkaran dan jual beli pukulan. Suasana sempat terkendali. Namun isu yang berkembang gentayang membakar semangat warga. Hingga malam berikutnya, ada gerakan sekelompok orang yang mulai membakar perkampungan Cina. Aksi ini berlanjut menjadi aksi massa. Dan selanjutnya aksi ini menjadi milik kelompok. pribumi melawan Cina.
Konflik ini seperti dikemukakan Masyhuri, bukanlah berdiri sendiri. Ada segregasi sosial. Kesenjangan ekonomi warga Cina dan pribumi sangat jauh. Ada persaingan dan kompetisi yang kuat. Ada kebangkitan semangat primordialisme di kalangan pribumi. Ada prasangka menajam. Ada kebencian yang membuncah.
SEBENARNYA situasi sebelum konflik di Kudus yang dipaparkan buku inilah yang mengingatkan saya pada apa yang sedang terjadi di Kalbar sekarang ini.
Persoalan prasangka, memang sudah muncul sejak lama. Prasangka muncul dari rentetan sejarah karena anggapan orang Cina tidak setia. Lihat laporan yang disampaikan Hari Poerwanto yang berjudul “Orang Cina Khek di Singkawang” tahun 2004. Buku ini mengisahkan prasangka-prasangka yang wujud, yang tidak bisa diabaikan.
Selain itu, lihat juga tulisan La Ode, M.D. 1997. Tiga Muka Etnik Cina — Indonesia: Fenomena di Kalimantan Barat, Yogyakarta, PT. Bayu Indra Grafika.
Terakhir, prasangka ini memuncak dalam pemilihan Walikota Pontianak 2008. Saya sempat menerima beberapa SMS pantun tentang pandangan negative terhadap majunya calon walikota orang Cina. Sayangnya, SMS itu sekarang hilang bersama hilangnya HP saya –sebelum datanya dipindahkan.
Saya kira, jarak sosial antara orang Cina dengan Melayu di Kalbar cukup jauh. Perbedaan kepercayaan, perbedaan bahasa dan budaya sangat jelas. Jarak ini semakin lebar jika dikaitkan dengan situasi ekonomi. Kesenjangan ini bisa dilihat secara kasat mata di kota Pontianak, dan bahkan seluruh Kalbar.
Pola pemukiman juga mula memperlihatkan kesan eksklusif. Semua orang mengenal kawasan Gajahmada sebagai kawasan pemukiman orang Cina. Bahkan sempat muncul gagasan membangun gerbang pecinan di kawasan ini. Asumsinya, pembangunan ini akan mendorong kepentingan pariwisata.
Begitu juga dengan pendidikan. Orang-orang Cina kebanyakan bersekolah di sekolah yang berbeda dengan orang Melayu. Keadaan ini semakin kuat dengan kenyataan bahwa sekolah umum kebanyakan kalah mutu dibandingkan sekolah yang beraliran agama. Sekolah bermutu ini dikejar oleh orang tua anak.
Politik adalah hak setiap warga negara. Namun, kenyataannya, naiknya politisi Cina di pentas politik Kalbar kerap kali dianggap menjadi ancaman terhadap eksistensi Melayu. Orang Melayu merasa kalah. Orang Melayu merasa kesempatan mereka diambil.
Ketidaksenangan sekelompok orang Melayu sudah disampaikan secara terbuka. Orang mempertanyakan eksistensi budaya Tionghoa. Pertanyaan ini disampaikan juga secara resmi ke DPRD Kota Pontianak beberapa waktu lalu.
Kasus kecil bisa membesar karena isu yang bertiup dan ditiup-tiup. Kasus Gang 17, Pontianak, merupakan contoh yang paling aktual dari situasi ini. Kasus kecil itu menjadi milik orang banyak. Perkelahian karena kesalahpahaman, menjadi perkelahian besar yang diatur sistematis.
Kasus pembangunan tugu naga di Singkawang juga menjadi berlarut-larut. Padahal dahulu penciptaan image 1000 kelenteng di Singkawang tidak pernah dipersoalkan. Pembentukan identitas Singkawang sebagai kota Cina sekian lama dahulu tidak pernah ditolak. Bahkan, orang-orang Melayu dan orang Kalbar secara umum melihat predikat Singkawang sebagai kota Amoy, sebagai pencitraan yang positif. Kini, semuanya menjadi negatif.
Kini, di Pontianak, rencana arak-arakan naga diprotes. Protes keras. Bahkan disertai ultimatum. “Kami siap menghadang aksi ini,”
MEMANG polisi sudah menjanjikan akan mengamankan situasi. Memang beberapa elit Melayu seakan memberikan jaminan akan memberikan pemahaman terhadap orang Melayu. Memang banyak orang Melayu memahami bahwa arakan naga bukan persoalan sebenarnya dan masih dapat memahami jika perarakan itu tetap dilaksanakan.
Tetapi siapa yang bisa menjamin situasi yang panas ini tidak akan membakar?
Memang di titik yang dijaga, keadaan bisa dikendalikan. Tetapi, apakah polisi dapat menjaga semua titik? Berapa banyak kekuatan personil yang diperlukan untuk menjaga situasi itu?
Soal pemahaman, bukan tidak bisa dilakukan. Tetapi masalahnya bukan terletak pada pemahaman. Masalahnya terletak pada perasaan tidak puas sekelompok orang terhadap orang Cina. Mungkin juga ada kepentingan pragmatis di sini.
Seperti disebutkan tadi, ada ketidakpuasan yang bertumpuk-tumpuk. Setiap persoalan kecil dijadikan sebagai isu yang besar, dan dijual. Soalnya sekarang, siapa yang mau membeli.
Pada skala kecil, dan pada lingkup jangka pendek, mungkin masalahnya bisa di atasi. Transaksi bisa dilakukan oleh mereka yang berkepentingan.
Tetapi pada masa yang panjang, pasti akan sulit. Isu-isu akan menumpuk dan masuk dalam rapor: Cina begini, begini, begini. Ada daftar dosa dan kesalahan yang terus diingat. Lalu, membuncahkan rasa solidaritas di tengah situasi yang tersegregasi.
Karena itu, sebuah upaya jangka panjang harus dilakukan untuk meminimalisir segregasi sosial. Upaya yang memudarkan identitas kelompok yang justru membuat kelompok lain menjadi tidak puas. Prinsip-prinsip munculnya identitas dan pemertahannya selalu tidak lepas dari kepentingan pragmatis.
Tentu sudah harus dipikirkan bagaimana menciptakan identitas bersama dalam konteks kepentingan pragmatis itu. Lalu, memupuknya agar tumbuh subur. Memeliharanya agar tumbuh membesar.
Pemerintah, elit, dan kita semua yang mencintai suasana damai mesti memikirkan kepentingan pragmatis, menciptakan alasan yang kuat untuk membentuk identitas itu. Sebaliknya, kita semua harus berusaha menghapus identitas-identitas kelompok yang dipandang negative kelompok lain –sembari tentu saja menghapus keinginan untuk melihat sesuatu dari sudut negatifnya saja.
Senin, 26 Januari 2009
Buku “Bakar Pecinan!”: Kita Perlu Memahami Mengapa Konflik Itu Terjadi
Diposting oleh Yusriadi di 00.28
Label: Buku, Orang Tionghoa, Pontianak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
saya setuju dengan saudara rusriyadi.
klik situs saya berikut:
buka rahasia ! klik: http://rahasia-dibeber.blogspot.com
Bapak Yusriadi, apakah Bapak ada email yang dapat saya hubungi?
saya sedang berada di pontianak untuk menyelesaikan riset saya. semoga saya dapat berkorespondensi dengan Bapak.
terima kasih, salam
agni malagina
Posting Komentar