Oleh: Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak
Krisis keuangan global yang terjadi tahun 2008 memang mengguncangkan ekonomi Indonesia. Pemberitaan media membuat semuanya mudah diikuti. Perkembangan bursa saham dunia, dampak-dampak yang terjadi, tindakan-tindakan penyelamatan, dll., begitu mudah diikuti.
Di mana-mana orang membicarakan dampak krisis. Penurunan harga beli pedagang, dan peningkatan harga jual komoditas tertentu menjadi tema penting, karena menyangkut sendi-sendi kehidupan masyarakat. Di kantor, di pasar, hatta di rumah pun orang merasakan dampaknya.
Saya termasuk orang yang mengikuti perkembangan ini. Walaupun tidak secara intens, tetapi garis besar persoalan, punca, dan sebagainya, saya ikuti. Seperti juga orang banyak, saya menyimak karena krisis bersentuhan langsung dengan kehidupan saya sehari-hari.
“Karet sekarang tidak dibeli orang. Pedagang masih nunggu keadaan,”
“Toke karet kita rugi besar. Jatuh tedudok. Dia beli harga Rp 9000, sekarang dijual Rp 6000”.
“Kalau mau cari motor bekas, sekaranglah waktunya. Ada yang jual motor kredit Rp1 juta”.
“Adik saya karyawan sawit, kena PHK,”
“Perusahaan sawit merumahkan karyawan”.
“Ada keluarga saya sopir truk sawit, sekarang tidak bekerja”.
“Saya tidak tahu bagaimana membiayai anak-anak kuliah, sekarang”.
Pelbagai informasi ini saya terima.
Saya mendengar dengan seksama. Tapi, saya cemas.
Saya seperti melihat dampak buruknya. Bayang-bayang kekalutan seperti berada di depan mata. Tidak bisa ditangani.
Ya, karet dan sawit, selama ini menjadi andalan perekonomian orang kampung di pedalaman, katakanlah di Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sanggau, Landak. Saya kira, Ketapang juga sangat bergantung pada dua sektor ini.
Dua usaha ini telah menggeser peran pertanian padi. Bahkan, padi, sudah mulai kehilangan ‘mukjizatnya’ membantu orang kelaparan. Usaha peladangan sekarang ini jarang sekali mampu menghasilkan padi yang dapat disimpan sampai satu tahun. Saya seringkali menemukan hasil ladang hanya mampu menyuplai makan penduduk selama setengah musim. Orang yang berladang harus membeli beras toko atau beras ili’ –begitu biasa disebut, agar terus makan. Kesan saya sekarang, orang berladang karena mereka merasa perlu menjaga tradisi. Jika tidak berladang orang merasa tradisi sebagian dari tradisi seperti hilang dari diri mereka.
“Untuk nanam pulut,”
“Untuk burung pipit,”
Emak saya membahasakan begitu kalau mereka berladang di lahan yang kecil. Jadi kalau sudah begini, bukan hasil padi yang mereka pikirkan.
Lahan sekarang sudah sangat terbatas. Penduduk banyak. Lahan sekarang juga tidak subur lagi. Harus dibantu pakai pupuk. Sedangkan pupuk mahal –dan malah sering dikeluhkan: tidak ada.
***
Saya semakin cemas karena Pemerintah -- seperti diberitakan media -- tidak bisa berbuat banyak. Pemerintah sudah mengumpulkan pengusaha sawit dan juga pengusaha karet, mendiskusikan persoalan itu. Namun, jalan keluar sesungguhnya belum ketemu. Maklum, ini krisis global, terlalu berat orang lokal menghadapinya. Masalahnya orang lokal sangat tergantung pada orang global itu.
“Di luar kuasa kita,”
Kata beberapa pejabat daerah seperti dikutip media ketika mereka dimintai tanggapan seputar anjloknya harga karet dan sawit.
Gubernur Cornelis seperti disampaikan dalam diskusi refleksi akhir tahun yang diselenggarakan Harian Borneo Tribune (30/12) mengatakan Kalbar sudah mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan RI. Jadi, keputusan pada akhirnya sangat tergantung pada pusat, pada orang di atas. Kalau keputusan yang diambil sesuai dan mampu meringankan beban masyarakat di tengah konflik, lumayan. Jika keputusan tidak kunjung diambil, atau kalaupun diambil keputusan tidak menyelesaikan masalah, tentu persoalan yang dihadapi menjadi lebih runyam.
Lalu apa tindakan lokal untuk menghadapi persoalan itu? Apa yang bisa dilakukan petani karet dan petani sawit di tengah situasi seperti ini?
Saya jadi teringat solusi yang akan diperhatikan Gubernur Cornelis.
“Pangan,”
Di tengah krisis seperti ini, di tengah kepasrahan yang dipilih, pemerintah memilih solusi dengan program ketersediaan pangan masyarakat. Krisis bagaimanapun, masyarakat tetap makan. Keterpenuhan kebutuhan yang lain menyusul.
Anggota DPRD Kalbar Michael Yan memberikan pandangan senada. Pangan penting diperhatikan di tengah krisis. Bahkan, walaupun Michael Yan optimis krisis ini tidak akan lama, namun, perhatian terhadap pangan mestinya tidak hanya pada saat krisis. Harus selalu diperhatikan. Apalagi potensi alam di Kalbar ini besar dan memungkinkan.
Saya kira solusi ini, solusi yang arif. Paling tidak ada plan penting yang bisa diambil pemerintah menghadapi situasi yang sulit.
Bak kata orang, kalau masih ada beras, amanlah periuk. Aman juga kampung tengah. Lauk bisa dicari. Kayu bakar bisa dicari. Tinggal memasak saja, lagi.
Kalau masih bisa makan, tenanglah pokoknya.
Minggu, 04 Januari 2009
Di Tengah Krisis Itu...., Pangan Solusinya
Diposting oleh Yusriadi di 01.21
Label: Budaya Kalbar, Ekonomi, FOTO
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar