Oleh: Yusriadi
Selasa (20/1/09).
Seperti biasa, pukul 07.00 saya sudah duduk di kursi empuk di ruang ‘lobby’ bangunan akademik kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.
Pekerjaan rutin. Isi absen –sekarang absen di kampus ini menggunakan mesin.
Setelah itu, 10-20 menit membaca surat kabar. Ada Borneo Tribune. Pontianak Post dan Tribune Pontianak.
Ada Mbah –itu sapaan yang biasa dipakai teman-teman di STAIN terhadap petugas kebersihan yang sibuk menyapu dan kemudian mengepel lantai bangunan ini. Setiap pagi selalu ada beliau.
“Cepat ni.”
Itu basa-basi beliau, kalau beliau lebih dahulu menyapa.
“Kebetulan. Biasa, antar anak sekolah,”
“He he .. Tugas negara,”
Saya menjawab seperti itu. Selalu. Berulang. Mungkin beliau pun sudah hafal jawaban itu.
Sebaliknya, kalau saya lebih dahulu menyapa saya mengatakan,
“Sibuk, Pak,”
Beliau akan menjawab dengan tawa singkat. “He he ...”
Itulah ritual pagi saya di kampus.
Kemudian, seiring beranjaknya jarum jam, satu per satu teman datang. Ada yang sekadar lewat saja menuju mesin kehadiran yang diletakkan di lorong ke arah bagian kepegawaian. Ada juga yang bergabung, membaca koran dahulu.
Kemarin, saat saya baca koran, datang teman saya calon doktor di Universitas Islam Negeri Jakarta.
Dia menyapa “Salamualaikum Pak Doktor,”
“Walaikum salam Pak Doktor,”
Saya membalas. Agak janggal.
“Heh, belum. Belum doktor,”
“Tak apa, sebentar lagi jadi,”
Calon doktor ikut bergabung. Membaca koran juga. Lalu, datang seorang petugas keamanan –Satpam. Dia juga gabung baca koran.
Di sela-sela pembacaan, kami berdiskusi. Mengomentari bagian-bagian dari berita itu. Mulai cerita Muda Mahendrawan dan Sujiwo, hingga cerita Obama nun jauh di Amerika.
Kami bicara kualitas pemimpin. Kami cerita tentang kecenderung sekarang orang rebutan jadi pemimpin. Jabatan diburu dan dipertaruhkan. Kadang harus keluar biaya mahal untuk sekadar mendapatkan jabatan itu. Bertolak belakang dibandingkan keadaan dahulu – umpamanya keteladanan yang ditunjukkan khalifah -- Abu Bakar, Umar, dan beberapa lagi yang lain.
“Sekarang orang tidak pandai lagi mengukur diri. Mereka tidak tahu bahwa menjadi pemimpin itu adalah amanat yang sangat berat. Pertaruhannya: kalau bisa adil dan memimpin dengan baik, pertaruhannya syurga. Sebaliknya jika tidak adil –apalagi malah korupsi dan menyengsarakan rakyat, pertaruhannya neraka.”
Komentar teman membuat saya jadi ingat pepatah:
“Hidung tak mancung, pipi disorong-sorong,”
“Syahwat berkuasa,”.
“Nafsu,”
Lalu, tak sengaja kami nyerempet tema tentang caleg, orang yang sekarang ini berusaha meraih dukungan agar terpilih menjadi wakil rakyat.
Keadaannya sama. Banyak orang yang tidak bisa mengukur diri. Ingin berjuang untuk daerah. Berjuang untuk rakyat. Tetapi, kemampuannya tidak cukup. Mau omong saja susah.
Banyak lagi ‘omelan’ sang calon doktor itu.
“Banyak teman saya jadi caleg,”
“Saya tahu ketika lihat baleho mereka dipasang di pinggir jalan. Saya bilang “heh, yang macam itu mau jadi caleg?,”
Dia menyebutkan nama orang-orang yang dikenal itu.
Ada nama-nama itu yang juga saya kenal. Anggota Dewan yang cukup vokal. Sering masuk koran.
“Saya sering gurau mereka. DPRD Jalanan,”
Lho?
“Ya, dahulu khan mereka suka nongkrong di warung kopi. Suka duduk di pinggir-pinggir jalan. Sekarang, mereka menjadi Dewan. Diskusi yang di warung kopi, jadinya sama dengan diskusi di gedung Dewan. “Kebiasaan lama pasti terbawa-bawa,”
“Bagaimanalah kita bisa maju kalau kualitas elit kita seperti itu,”
“Itulah susah masyarakat kita. Masyarakat tidak memilih calon dengan benar. Mereka tidak memilih latar belakang calon. Masyarakat tidak melihat tebiat calon, pendidikan calon, program calon.”
Saya mengangguk-angguk. Saya menyukai diskusi begini. Komentar yang kritis.
Komentar ini membuat saya berpikir, apakah akan ada yang memilih mereka? Kalau tidak ada yang memilih bagaimana? Duh, kecewanya.
Tetapi, bagaimana kalau benar mereka menjadi Dewan? Apa yang dapat mereka buat? Hanya sekadar mengaminkan? Hanya sekadar angguk-angguk?
Lalu, apa jadinya pengemban amanah seperti ini? Pasti ‘kena makan’ eksekutif’.
Ah, mungkin sudah nasib masa depan bangsa. Itu mungkin suratan.
Salah kita juga, mengapa memilih orang yang tak bisa apa-apa.
Saya berhenti pasrah ketika calon doktor itu mengingatkan saya.
“Kamulah yang bisa mengingatkannya. Kamu khan orang media,”
“Iyeeee.... Tapi, takkan pula abang lepas tangan setelah ceramah di depan saya,”
Saya mengeluarkan senjata pamungkas.
“Abang tulis peringatan itu. Nanti saya muatkan di koran,”
Benar.
Dia diam. “Ceramah pagi” berakhir.
Masing-masing dengan renungan, “Mau jadi apa masa depan kita?”
Kamis, 22 Januari 2009
Ketika Caleg Berkata: “Pilihlah Aku,”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
MAKSUD TERSELUBUNG CALON LEGISLATIF
Pesta demokrasi 2009, pestanya calon legislatif merebut simpati rakyat. Calon legislatif berlomba merebut garis terdepan berjanji memperbaharui kehidupan.
Namun, tatkala pesta itu usai dan mereka terpilih, anggota dewan mulai menampakkan kekakuannya. Tujuan utama mendapatkan kekayaan sebesar-besarnya melekat benar dalam saraf ingatan anggota dewan.
"Tiada hari tanpa korupsi " slogan wajib bagi mereka. Hidup tanpa korupsi bagaikan sayur tanpa garam atau dengan kata lain hidup tiada mengenal korupsi sama dengan mati di dalam hidup, itulah prinsip mereka. Mumpung jadi anggota dewan.
Akhirnya kita hanya bisa diam!! diam!! diam!!
Membawa segala penyesalan menuju alam baka.
Sumber:www.asyiknyaduniakita.blogspot.com
Ya... nasib kita begitu. Makanya, saya kira kita perlu memikirkan bagaimana cara agar rakyat bisa memilih orang-orang yang bisa dipercaya sebagai wakil rakyat.
Posting Komentar