Tanda Sejarahnya Mana?
Yusriadi
Borneo Tribune
Setelah makan, saya mencari penginapan. Teman saya di motor air tadi memberitahukan di Kubu ada sebuah penginapan. Letaknya di pasar.
“Penginapan di ujung... tempat yang ada jual pulsa,” kata ibu di rumah makan itu. Dia menunjuk arah kiri bangunan.
Berbekal petunjuk itu saya mencari penginapan. Celingak-celinguk mencari penginapan. Tidak ada plang.
Di bagian ujung ada dua rumah makan. Tempat jual pulsa diletakkan di antara dua rumah makan ini. Saya jadi bingung yang mana satu?
“Maaf, numpang tanya, apakah di sini ada penginapan?”
“Penginapan di sebelah,” penjaga rumah makan menunjuk ke arah belakang. Maksudnya rumah makan di sebelah kanannya, yang saya lewati tadi.
Saya mengikuti petunjuknya.
Seorang ibu membenarkan ketika saya tanya soal penginapan. “Penginapan di atas,” ujarnya.
Dia juga bertanya berapa lama saya menginap.
“Bawa apa?”
Saya terperangah. Bah, saya dikira pedagang keliling. Ah, mungkin dia mengira tas saya berisi barang –entah apa.
Tetapi sepanjang kegiatan pengumpulan data lapangan pertanyaan seperti itu memang kerap muncul. Orang-orang di lapangan sudah biasa berhadapan dengan orang asing yang berprofesi sebagai pedagang. Entah dagang obat, pakaian, dll.
“Saya mau membuat tulisan tentang Kubu.”
Kali ini saya jawab pertanyaan ini dengan menjelaskan tujuan kedatangan saya. Untuk kunjungan yang ‘agak lama’ memberitahukan tujuan kunjungan akan banyak manfaatnya. Mungkin dia bisa membantu mencarikan informasi yang dibutuhkan atau menunjuk orang lain yang dapat membantu.
Dan memang benar, kemudian dia menawarkan kalau perlu bantuan ke sana ke marin ada orang yang bisa mengantar. Soal ongkos bisa dibicarakan.
Ketika ‘basa-basi’ itu sudah cukup dia menunjuk kamar untuk saya.
“Kamarnya di atas, paling ujung. Masuknya lewat situ,”
Ada tangga menuju lantai dua. Letaknya di tengah bangunan antara dapur dan warung. Di dapur sejumlah gadis kecil sedang memasak. Ada yang berusia SMP dan SMA. Ada kompor dan ada api yang menyala di anglo. Bau makan dan bau asap bercampur. Nikmat juga!
Saya melewati kamar di lantai 2. Satu, dua, tiga, empat. Ada lima kamar. Ukurannya 2 meter, lebih sedikit. Setengah dari kamar itu adalah tempat tidur (ranjang) kayu. Ada jendela kecil.
Saya merasa beruntung mendapat kamar paling ujung. Ukurannya lebih besar. Ada dua ranjang; satu ranjang kayu dan satu lagi ranjang lipat dari besi. Ada jendela besar yang yang bagian atas dari kaca. Walaupun tidak bisa dibuka, jendela ini membuat kamar jadi sangat terang. Saya bisa melihat sungai dari dalam kamar.
Saya akan tidur di sini dua malam.
***
Namanya Rus, umurnya 37 tahun. Dia mengaku orang Melayu asli Kubu.
Kulitnya agak gelap. Rambutnya lurus. Bibirnya nampak hitam, bekas rokok. Dia memakai topi hitam yang bagian depannya ada gambar. Tetapi gambar itu sudah tidak utuh.
Bajunya kaos warna putih dibungkus jaket warna hitam dengan lis merah di tangan. Ada tulisan TOSS. Jaket ini menjadi topik pembicaraan saat kami berkenalan. Kesan saya dia orang penting dalam Tim Sukses Calon Gubernur Kalbar Oesman Sapta, di Kubu ini. Kalau kaos bertuliskan OSO pasti semua orang bisa pakai. Tetapi kalau yang bisa dapat jaket, pasti terbatas. Tetapi dia merendah, walau mengakui sebagai pendukung OSO. Jaket itu selalu dipakainya. Maklum cuaca memang lagi sejuk. Sejak tengah hari tadi hujan turun. Sore ini pun hujan masih turun. Setelah agak reda kami berangkat.
Rus dengan motornya hondanya, membawa saya menuju pusat sejarah Kubu. Kami melalui Jalan Suparto, di pinggir sungai kota kecamatan Kubu. Jalan dari semen ukuran 2 meter (atau 1,5 meter?). Sebagian dari semen itu sudah bolong dan miring. Ada bagian jalan berupa jembatan kayu. Saya mengingatkan Rus agar hati-hati.
Lewat gerbang selamat datang di depan kantor Camat Kubu kami berhenti. Letaknya di persimpangan Sungai Kapuas – Sungai Terus.
“Di sinilah kubu,” katanya.
Saya terpana. Tidak ada tanda. Kononnya saya berada di kubu yang besar dalam sejarah, tetapi bekasnya .... entah. Dia memahami keraguan saya.
Sekarang tidak ada lagi Kubu.
“Dahulu ada pohon asam di sini. Tetapi sekarang sudah ditebang,” tambahnya.
Saya bertanya dalam hati, apakah dahulu orang berkubu di bawah pohon asam?
“Fotolah,” Rus mengingatkan saya.
Saya memilih sudut. Melihat bentangan sungai.
Seseorang lelaki peroh baya keluar dari rumah di samping kantor Camat. Seorang petugas kesehatan. Kata Rus, namanya Pak Lipur.
Rus memperkenalkan saya dan memberitahu apa tujuan saya.
“Dulu ada pohon asam. Sekarang sudah ditebang,” katanya menunjuk bekas tunggul pohon asam yang terlindung rumput.
Saya menaksir ukuran diameter tunggul 30 cm saja. Pasti umur pohon asam ini tidak tua-tua amat. Takkan pohon yang ditanam abad ke – 19 bisa bertahan sampai abad ke -21 dengan ukuran begitu kecil, kata hati saya.
“Kini saya tanam kembali pohon asam baru sebagai gantinya. Untuk mengingatkan letak Kubu,” tambah Pak Lipur.
Dia bercerita bahwa dahulu di sini adalah kubu yang dibangun untuk menghambat laju pasukan Siak yang akan menyerang penduduk di sini.
Tok Alang, mantan kepala desa Kubu, yang saya wawancarai kemudian mengatakan gundukan tanah kubu dahulunya mereka ratakan. “Kubu di sini dibikin dari tanah. Diruntuhkan jadi padang badminton, tahun 1973,” ujarnya.
“Sewaktu membuat lapangan badminton anak-anak dapat pelor dalam tanah. Besar ini,” katanya sambil merentangkan jempol dan jari manis, kiri – kanan, membentuk lingkaran. Bersambung.
Rabu, 30 Januari 2008
* Kubu, Kampung Sejarah dalam Kenangan (2)
Diposting oleh Yusriadi di 10.10
Label: Orang Melayu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar